Minggu, 29 Desember 2013

Thank You Bos :)

Kalau yang namanya kesempurnaan itu gak ada, dan kita terus mengejar kesempurnaan, apa gue berarti mengejar sesuatu yang tidak ada? Dan kalau yang namanya memaafkan itu berarti melupakan, bagaimana cara melupakan sesuatu yang telah kita maafkan? Bahkan jika hal tersebut tidak seharusnya terjadi?
Karena orang-orang yang sembarang meninggalkan semata demi yang lebih baik, adalah orang yang tidak cukup baik. Dan aku tau itu.

Namun apa daya? Waktu itu sudah dirancang Tuhan dan dieksekusi semesta berputar searah jarum jam, atau perputaran jarum jam itu sendiri yang mengikuti arah berjalannya waktu. Entahlah, yang pasti waktu terus berjalan, ke depan. Kata “seandainya” takkan pernah habis terlintas dalam benak seseorang yang sudah melakukan kesalahan, tanpa ia sengaja. Kata tersebut sepertinya bergandengan dengan benda nista bernama penyesalan.
Tak sepenuhnya nista. Dalam sebuah penyesalan, meskipun selalu datang terlambat, justru keterlambatan itu yang membuat kita harus lebih berhati-hati. Kamu mungkin bisa memutar jarum jam ke arah yang sebaliknya, tetapi kamu tak akan pernah bisa memutar waktu kembali. Semuanya tak akan pernah sama lagi.
Jika kamu bersungguh memperbaiki kesalahan, maka hal paling masuk akal setelah melewati semua fase “denial” dengan segala “seandainya” dan penyesalan adalah tetap melangkah ke depan, menjadikan yang di belakang sebagai pelajaran. Seperti jarum detik yang terus berjalan, perlahan mengajak jarum menit dan jam maju, melewati semua.

Terimakasih untuk persembunyian yang menyenangkan, terimakasih untuk pelukan hangat yang diam-diam kauberikan untukku meskipun saat itu kekasihmu mengirimkan pesan berkali-kali. Pesan yang tak kau gubris sama sekali. Ah, rasanya setiap mengingat ini, aku ingin lari. Pria macam apa yang bisa kucintai sampai berdarah darah begini?
Seperti marmut yang tidak tahu kapan harus berhenti berlari di roda yg berputar. Sadar diri. Mungkin aku harus pergi.


thank you for your time that you've given to me d.

Sabtu, 28 Desember 2013

kepada kamu

Dengan penuh kebencian
Aku benci jatuh cinta
Aku benci merasa senang bertemu lagi dengan kamu,
tersenyum malu-malu, dan menebak-nebak
selalu menebak-nebak
Aku benci deg-degan menunggu kamu online . 
Dan di saat kamu muncul, 
aku akan tiduran tengkurap, 
bantal di bawah dagu, 
lalu berpikir, 
tersenyum, dan berusaha mencari kalimat-kalimat lucu agar kamu, 
di seberang sana, 
bisa tertawa. 
Karena, kata orang, 
cara mudah membuat orang suka denganmu adalah dengan membuatnya tertawa. 
Mudah-mudahan itu benar.
Aku benci terkejut melihat SMS kamu nongol di inbox-ku dan aku benci kenapa aku harus memakan waktu begitu lama untuk membalasnya, 
menghapusnya, 
memikirkan kata demi kata. 
Aku benci ketika jatuh cinta, 
semua detail yang aku ucapkan, 
katakan, 
kirimkan, 
tuliskan ke kamu menjadi penting, 
seolah-olah harus tanpa cacat, 
atau aku bisa jadi kehilangan kamu. 
Aku benci harus berada dalam posisi seperti itu. 
Tapi, aku tidak bisa menawar, ya?
Aku benci harus menerjemahkan isyarat-isyarat kamu itu. 
Apakah pertanyaan kamu itu sekadar pancingan atau retorika atau pertanyaan biasa yang aku salah artikan dengan penuh percaya diri? 
Apakah kepalamu yang kamu senderkan di bahuku kemarin hanya gesture biasa, 
atau ada maksud lain, 
atau aku yang-sekali lagi-salah mengartikan dengan penuh percaya diri?
Aku benci harus memikirkan kamu sebelum tidur dan merasakan sesuatu yang bergerak dari dalam dada, 
menjalar ke sekujur tubuh, 
dan aku merasa pasrah, 
gelisah. 
Aku benci untuk berpikir aku bisa begini terus semalaman, 
tanpa harus tidur. 
Cukup begini saja.
Aku benci ketika kamu menempelkan kepalamu ke sisi kepalaku, 
saat kamu mencoba untuk melihat sesuatu di handycam yang sedang aku pegang. 
Oh, aku benci kenapa ketika kepala kita bersentuhan, 
aku tidak bernapas, 
aku merasa canggung, 
aku ingin berlari jauh. 
Aku benci aku harus sadar atas semua kecanggungan itu…, 
tapi tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku benci ketika logika aku bersuara dan mengingatkan, 
Hey! Ini hanya ketertarikan fisik semata, pada akhirnya kamu akan tahu, kalian berdua tidak punya anything in common,
harus dimentahkan oleh hati yang berkata, 
Jangan hiraukan logikamu.
Aku benci harus mencari-cari kesalahan kecil yang ada di dalam diri kamu. 
Kesalahan yang secara desperate aku cari dengan paksa karena aku benci untuk tahu bahwa kamu bisa saja sempurna, 
kamu bisa saja tanpa cela, dan aku, 
bisa saja benar-benar jatuh hati kepadamu.
Aku benci jatuh cinta, terutama kepada kamu. 
Demi Tuhan, aku benci jatuh cinta kepada kamu. 
Karena, di dalam perasaan menggebu-gebu ini; 
di balik semua rasa kangen, takut, canggung, yang bergumul di dalam dan meletup pelan-pelan

aku takut sendirian

radityadika

Sabtu, 21 Desember 2013

And i write about us because I’m afraid that you will erase all the memories. And I’m too afraid there will be no “us” at all.
Terimakasih sudah menyajikan cinta yang tak pernah cukup
Terimakasih sudah menangkapku yang terjatuh. membangunkanku lagi. Kemudian menjatuhkan hati. Dan mendaratkannya di bantalan kasih sindah dunia peri.
Terima kasih sudah menyelamatkan rasa yang hampir tenggelam, dengan hadir dalam hidupku walau penuh lebam.
Terima kasih sudah menyeka luka, sehingga senyum itu muncul lagi terlihat di air muka.
Terima kasih sudah menjadi penawar harap yang dulu mulai memudar.
Terima kasih karena membiarkan aku belajar, meski aku tak pernah merasa cukup.
Terima kasih sudah mau mengajakku kedalam kehidupanmu
Terima kasih, walaupun semua ini hanya sementara

Tidak sependapat sama johnny

Kamu pernah berjalan di atas jalan setapak dan tak berujung? Itulah yang aku maksud. Johnny mengatakan ketika kita mencintai dua orang di waktu yang sama, pilihlah yang kedua, karena ketika kamu benar-benar mencintainya, kamu tidak akan jatuh cinta lagi.

Salah! Lalu bagaimana ketika sudah memilih yang kedua, kemudian datang yang ketiga? Ketika telah memilih yang ketiga, datang yang keempat? Sampai kapan pun, kamu tak akan pernah menemukan akhirnya.

Menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih adalah tentang menerima kekurangan. Bukan berarti cinta itu buta, tetapi cinta itu bertanggung jawab. Ketika kamu memulai untuk jatuh cinta pada seseorang, pertahankan itu sampai titik sayang penghabisan, juga sebagai tanggung jawab.

Ketika kamu (mungkin) berpindah ke lain hati, itu karena di hati yang sebelumnya kamu menemukan kekurangan, tetapi jika bagimu kekurangan itu bisa diterima, di situlah cinta bekerja. Kelebihan? Anggap saja itu bonus. Bahkan mengkonversi semua kekurangannya menjadi kelebihan bagi kamu, akan menghasilkan cinta yang luar biasa.

Semoga kita semua terhindar dari jalan setapak tak berujung.

Lembaran baru Yang Tertinggal

Tak lupakah kamu dengan apa yang sudah kamu lakukan?
Kamu datang seperti duri, lalu pergi seperti mimpi. Tanpa diminta. Namun ketika aku sedang benar-benar menginginkannya, kamu hanya memberi ruang hampa. Apa yang kamu lakukan ini, semata cinta, atau hanya permainkan rasa?
Jangan buang waktumu dengan membuang-buang waktuku. Jika tak ingin miliki hati, jangan bawa pergi bahkan berlari dan tak kembali. Kembalikan hati itu ke tempat semula jika kamu memang tak berminat lipurkan lara.
Aku menghela napas.
Baik. Aku biarkan kamu pergi bawa hatiku. Tapi beri tahu aku, siapa sebenarnya yang membawa hatimu, hingga kamu tak memilikinya sama sekali untukku?

Halaman demi halaman aku tulis, bersama kamu. Sekian lama harusnya kisah ini cukup kamu mengerti. Atau aku mestinya cukup pahami. Namun cinta tak pernah sederhana. Pahit, iya.
Pena dengan tinta hitam kita ukir selengkung demi selengkung. Beberapa halaman penuh coretan karena amarah yang merana, atau kadang terciprat cemburu yang memburu.
Semuanya kita lanjutkan, karena aku anggap hidup harus terus berlanjut. Dan cinta ini, adalah hidup. Setidaknya bagiku. Aku sudah meninggalkan halaman usang di belakang. Aku berpegang sampai nyawa ini kuregang, kamu yang aku sayang. Setidaknya sampai rasa itu hilang. Entah terjadi atau tidak, ah, jika iya rasanya begitu malang.

Aku mencintamu dengan terlanjur.

Landakgaul

Senin, 16 Desember 2013

Because it's you

Apa dia lupa baru ditinggalakan kekasihnya? Sampai kemarin dia masih terlihat seperti mayat hidup. Lalu, sekarang? Bagaimana bisa orang itu tertawa sangat lepas seperti tadi? Apakah dia sudah bisa melupakan mantan kekasihnya yang sudah mengkhianatinya itu? Secepat itu? Bagaimana bisa? Entahlah.
Ketika melihatnya tertawa, aku ikut tertawa. Bersamanya seperti pulang ke rumah. Sangat nyaman. Namun, bagaimana kalau aku bukanlah rumah untuknya? Loving him, is it a sin ? jika aku tidak tau kapan start nya, aku harap aku bisa mendapatkan finishnya. Namun, bagaimana jika tidak ada finish? Jika dia lebih memilih kekasihnya sebagai garis finishnya. Aku tidak akan berhenti kecuali dia benar bahagia dengan wanitanya. Baru aku akan menyerah. Aku ingin realistis meski tidak logis. Bukankah tidak semua dongeng akan berakhir dengan bahagia? Jika dia hidup dengan hidupnya, aku juga akan hidup dengann hidupku. Semuanya masih terus berputar dalam orbitnya. Semua hanya akan berhenti jika dia sampai pada lintasanku, menjadikan aku sebagai pusat tata suryanya. Aku pernah membaca, kita akan bertemu dengan orang yang salah sebelum akhirnya dipertemukan pada orang yang tepat. Jika takdirku hanya dirimu, kau akan memilihku. Nanti.
Apa kau tahu seperti apa rasanya melepaskan sesuatu yang pernah kau miliki?
Ternyata kau memberiku banyak kenangan
What ?
Seperti menemukan kepingan terakhir dalam puzzle yang selama ini sedang aku susun. Kepingan yang terselip di antara kepingan lain, dan membuatnya kesulitan menuntaskan puzzle itu. Namun, setelah hari ini, setelah satu kalimatmu barusan, aku merasa telah utuh. Aku tidak akan melepasnya.
Tapi aku lupa bahwa dia tidak menganggaku seperti itu. Aku bukan pemeran utama dalam lakon hidupnya. Aku hanya figuran yang hanya sekali dibutuhkan. Aku mencintainya tanpa diketahui. Mencintai dalam diam. Mencintai dalam satu sudut pandang. Mencintai di satu sisi. Biarpun demikian, kadang aku merasa sangat bahagia.
Entahlah. Hanya saja, aku selalu merasa lebih baik jika kau berada di dekatku. Rasanya, bersamamu itu seperti... memiliki sebuah tempat dimana aku merasa baik baik saja. Kau seperti rumah untukku. Datang begitu alami. Membuatku terasa terlindung jika berada di dekatmu. Membuatku merasa tenang dan nyaman. Ketika aku merasa kehidupanku sangat buruk, aku selalu menemukanmu disana  membuatku menjadi tenang dalam sekejap. Sebuah rasa nyaman yang hanya bisa di dapatkan didalam rumah. Perlindungan yang pasti dan menjanjikan. Rasa sakit dalam bentuk apapun seperti lenyap begitu saja. Aneh. Aku benar-benar tak mengerti. Seperti, kenapa itu harus kau? Kenapa? Oh, aku harap kau tidak keberatan dengan penjelasanku ini..
Kehidupanku menjadi sangat mudah dijalani saat kau ada bersamaku. Sebaliknya, saat kau tak ada, aku kehilangan duniaku.
Kau begitu jahat, bagaimana bisa kau pergi setelah memberiku luka menyakitkan? Kekosongan ketika menatapmu, siapa yang berpaling, aku tak mampu menggapaimu. Kenangan masalalu ketika kita saling mencintai datang dan pergi. Air mata terus mengalir memanggilmu. Kenangan kenangan berharga menyebar di langit. Aku benci itu, aku tanpamu. Aku benci itu, kau tanpaku. Aku masih di tempat ini meskipun lampu sudah dipadamkan. Aku benci, aku benci diriku sendiri yang mengharapkannya. Aku benci, diriku sendiri yang terlalu mencintainya. Aku membenci semua cinta di dunia dan aku membenci “kami” segalanya yang dilupakan. Aku menghela napas panjang, diam menutup mata. Aku mendengar suaramu dan kemuadian lenyap. Hatiku berdebar memanggilmu. Aku membuang kenangan berhargaku ke langit.
Apakah semua luka akan hilan dengan sendirinya? Berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga luka yang dalam sekalipun bisa mengering dan sembuh?

Tidak ada gunanya memberi tahu pria itu, bukan? Memangnya kau kira dia akan mencarimu setelah kau  pergi? Bukankah kau pergi untuk meninggalkan pria itu? Jangan konyol! Kau bukan hal penting baginya! Kau harus segera melupakannya demi tuhan rasanya bisa sesakit ini...

Minggu, 08 Desember 2013

Masih Merindu

Kepada kamu, tenang saja. Ketika aku tidak menulis tentang kamu, bukan berarti aku sedang tidak memikirkan kamu.

Pagi adalah kamu

Pagi adalah di saat mimpi atau kenyataan tak lagi penting, yang penting ada kamu.

Pagi adalah ketika aku berpikir bahkan mimpi paling indah pun tak ada apa-apanya jika aku melihat kamu tersenyum hari ini.

Pagi adalah ketika aku memulai berdoa lagi melihat kamu tersenyum hari ini.

Pagi adalah ketika aku menebak-nebak baju apa yang akan aku pakai agar nanti bisa terlihat serasi denganmu.

Pagi adalah menebak-nebak untuk berangkat jam berapa yang sesuai agar aku dan kamu berpapasan di jalan.

Pagi adalah semangat baru, membayangkan akan bertemu kamu yang tersenyum, meskipun bukan padaku.

Pagi adalah mencari-cari. Mencari kabar terbaru tentangmu.

Pagi adalah ketika matahari tersipu malu melihat kamu tersenyum. Dia menganggap dirinya jantan, dan kamu matahari betina.

Pagi adalah mengkhayal kamu adalah sisipan alunan dalam senandung harva malaikat pagi.

Pagi adalah mengkhayal lagi, mengkhayal kamu adalah malaikat pagi itu sendiri.

Pagi adalah ketika aku mengabaikan pesan dokter. Katanya, sarapan itu sehat, aku malah sarapan memikirikan kamu.

Pagi adalah ketika logikaku berkata “Kamu cuma kegeeran.” dipatahkan oleh perasaan yang berkata “Bukan, kamu jatuh cinta.”

Pagi adalah deg-degan membuka SMS di handphone, berharap itu dari kamu. Dan kecewa ketika tahu itu cuma promosi dari provider seluler.

Pagi adalah… Saat aku rindu kamu.

*sebuah siratan yang akhirnya tersurat dari suratan sebelumnya

Aku Berharap Lagi Rasa Itu Mati (landakgaul)

Bagimu, pertemanan ini memang hanya pertemanan. Ya, aku tak bisa menyalahkan itu. Yang bisa aku lakukan hanyalah menyalahkan diri sendiri yang terus saja mengingkari hati, bahwa rasa ini bukan sesuatu yang berarti.

Semua kedekatan kita. Canda tawa saat berbicara tentang hal yang kamu suka. Semua senyum yang kureka, tak sepenuhnya nyata. Senyum itu tulus, hanya saja terlempar dengan getir. Layaknya rasa yang aku tahan, rasa yang terbalut dalam kalut.

Aku tak bisa menyampaikannya. Aku hanya tak ingin menghancurkan apa yang selama ini kita bangun. Dan pada akhirnya, aku tancapkan kail ragu, kalut, dan takut pada rasa ini, kemudian menggantungkannya di relung hati. Sambil berharap itu mati. Sendiri.

Semuanya berubah, ketika akhirnya aku sadar rasa itu semakin gagah. Membentur-benturkan dirinya ke dinding jiwa, membuatku hampir gila.

“Aku hanya temannya!” pekikku.

Aku kembali berdiam di balik dinding pengecut. Dinding egois yang memisahkan rasa ini dari hati yang ingin diraihnya. Aku ikat erat-erat sayang yang sudah terlanjur pekat.

Rasa itu tak kunjung pergi, malah aku yang hampir mati. Aku tak sanggup lagi. Jika memang semuanya harus berakhir di sini, aku harus rela hati