Bagimu, pertemanan ini memang hanya pertemanan. Ya, aku tak bisa menyalahkan itu. Yang bisa aku lakukan hanyalah menyalahkan diri sendiri yang terus saja mengingkari hati, bahwa rasa ini bukan sesuatu yang berarti.
Semua kedekatan kita. Canda tawa saat berbicara tentang hal yang kamu suka. Semua senyum yang kureka, tak sepenuhnya nyata. Senyum itu tulus, hanya saja terlempar dengan getir. Layaknya rasa yang aku tahan, rasa yang terbalut dalam kalut.
Aku tak bisa menyampaikannya. Aku hanya tak ingin menghancurkan apa yang selama ini kita bangun. Dan pada akhirnya, aku tancapkan kail ragu, kalut, dan takut pada rasa ini, kemudian menggantungkannya di relung hati. Sambil berharap itu mati. Sendiri.
Semuanya berubah, ketika akhirnya aku sadar rasa itu semakin gagah. Membentur-benturkan dirinya ke dinding jiwa, membuatku hampir gila.
“Aku hanya temannya!” pekikku.
Aku kembali berdiam di balik dinding pengecut. Dinding egois yang memisahkan rasa ini dari hati yang ingin diraihnya. Aku ikat erat-erat sayang yang sudah terlanjur pekat.
Rasa itu tak kunjung pergi, malah aku yang hampir mati. Aku tak sanggup lagi. Jika memang semuanya harus berakhir di sini, aku harus rela hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar